Geliat Minimarket Ummat
Geliat Minimarket Ummat
Perhatikan saja, bila Anda mengunjungi gerai minimarket Al Hikmah, ada suasana agak berbeda dari gerai minimarket umumnya yang bertebaran di Jabotabek. Selain menjual produk berlabel halal, manajemen Al Hikmah mengharuskan seluruh pramuniaga wanita mengenakan jilbab. Suasana Islami semakin terasa dengan mengalunnya lagu-lagu penyejuk rohani bagi kalangan Muslim.
Selain Al Hikmah, konsep dan nuansa ritel Islami tampaknya juga berusaha dihadirkan oleh beberapa nama lain: Super Mini Market (SMM) yang dikelola Kopontren Daruut Tauhiid (Bandung), Al Amin (Bogor), dan Markaz yang kini memiliki 17 gerai dengan konsep waralaba.
Perkembangan jumlah gerai ritel berkonsep Islami memang tidak secepat gerai ritel konvensional, seperti Indomaret ataupun Alfamart. Alfamart, misalnya, hingga akhir 2003 menargetkan akan memiliki sekitar 600 gerai, sedangkan Indomaret memancang target 800 gerai (bahkan hingga akhir tahun depan 1.000 gerai). Adapun Markaz yang mulai dirintis sejak tahun 2000, baru memiliki 17 gerai yang tersebar di Yogyakarta, Jakarta dan beberapa kota di Jawa Timur. “Tahun depan kami menargetkan memiliki 54 outlet,” ujar Aji Haryo, Franchise Recruitment Officer PT Solar Sentra Distribusi, pengelola Markaz.
Menurut Aji, untuk mempercepat penambahan gerainya Markaz menawarkan sistem waralaba. Kelebihan yang ditonjolkan, antara lain menawarkan konsep waralaba Islami dengan investasi relatif rendah. Ia menjelaskan, untuk gerai seluas 50 m2 (stok awal sekitar 2 ribu item produk), peminat cukup membayar sekitar Rp 125 juta, plus fee waralaba Rp 25 juta untuk jangka waktu 5 tahun, sedangkan untuk gerai seluas 120 m2 (stok awal 4-5 ribu item produk), peminat harus membayar sekitar Rp 250 juta dengan fee Rp 35 juta untuk jangka waktu 5 tahun. Adapun target omsetnya, disebutkan Aji, Rp 2-3 juta/hari untuk toko ukuran 50 m2, dan Rp 6-7 juta/m2 untuk toko seluas 120 m2.
Jelas, investasi di Markaz relatif lebih murah dibanding Alfamart, misalnya. Di jaringan ritel yang dikelola Grup Sampoerna ini, untuk tipe toko 36 rak (luas toko 60-90 m2), peminat harus membayar biaya sekitar Rp 300 juta, tipe 45 rak (90-150 m2) Rp 350 juta, dan tipe 54 rak (150 m2) Rp 400 juta. Biaya itu sudah termasuk fee waralaba.
Berbeda dari Markaz yang tergolong ekspansif di kalangan peritel berkonsep Islami, Al Hikmah agaknya lebih konservatif. Dengan memiliki dua gerai minimarket dan satu gerai supermarket saat ini, pengelolanya mengaku belum berencana menambah outlet hingga akhir 2003. Bahkan, tahun depan hanya akan menambah satu gerai di Bintaro. Menurut Trio Nursalam, General Manager Pemasaran Al Hikmah, kelebihan minimarket-nya adalah membidik segmen menengah-bawah, sehingga harga murah dijadikan senjata untuk menarik konsumen. “Margin kotor yang kami dapat rata-rata sekitar 10%,” katanya. Strategi harga murah ini dilakukan Al Hikmah dengan cara subsidi silang di antara beberapa produk yang dijual.
Menurut Trio, agar tidak ditinggalkan konsumennya, Al Hikmah juga mengedepankan pelayanan kepada konsumen, dan menjaga kelengkapan produk sesuai dengan keinginan konsumen. “Selain harga, kelengkapan produk juga menjadi daya tarik konsumen,” katanya. Niken, 34 tahun, pengunjung minimarket Al Hikmah Rawamangun, mengakui kelengkapan produk yang ditawarkan menjadi daya tarik, apalagi beberapa produk sembako seperti telur dan susu harganya lebih murah dibanding minimarket lain. Trio memperkirakan, omset masing-masing gerai minimarket-nya Rp 3-4 juta/hari.
Langkah konservatif juga dipilih SMM yang berlokasi di Geger Kalong Girang, Bandung. SMM yang didirikan Kopontren Daruut Tauhiid pada 1994, belum berani berekspansi menambah gerai. Menurut Abdurrachman Yuri, pengelola SMM yang juga adik kandung Aa Gym, sampai saat ini SMM belum berencana menambah gerai. Alasannya, konsep SMM awalnya hanya untuk memberdayakan potensi masyarakat setempat. Sekarang, gerai toko dua lantai ini menyediakan sekitar 9 ribu item produk, dengan omset Rp 350 juta/bulan.
Menurut Anwar Hadi Isnianto, Vice President MQ Corporation, sebenarnya SMM tidak melabelkan sebagai jaringan ritel Islami. Memang, diakui Anwar, ketika terdengar adzan, minimarket itu sementara ditutup. Namun, menurutnya, nuansa Islami justru lebih ditekankan pada manajemen dan kualitas pelayanan yang didukung dengan menjual produk yang dijamin kehalalannya.
Anwar mengungkapkan, tahun depan MQ Corporation hendak menekuni bisnis minimarket dengan label MQMart yang merupakan pengembangan dari MQNet. Menurutnya, perkembangan MQNet sangat pesat, hanya dalam beberapa bulan telah memiliki 250 ribu member. Namun, ia belum bersedia menjelaskan panjang-lebar tentang konsep minimarket yang hendak dikembangkan. “Rencananya akan dikembangkan dengan pola franchise dan outlet pertamanya di Bandung,” ujarnya.
Pudjianto, Direktur Pengelola Alfamart menyambut baik munculnya minimarket bernuansa Islami, karena kehadiran minimarket ini membidik segmen tersendiri yaitu kaum Muslim. Ia mencontohkan Tip Top, yang sudah dipersepsikan sebagai supermarket bernuansa Islami, sehingga memiliki pelanggan loyal, meskipun harganya belum tentu lebih murah.
Ia membenarkan dari sisi pelayanan, jaringan ritel bernuansa Islami memang terkesan lebih memberikan kenyamanan bagi konsumen. Namun, dari segi harga, ia kurang yakin bila jaringan minimarket bisa memberikan harga lebih murah, karena hal ini terkait dengan volume penjualan.
Ke depan, minimarket bernuansa Islami tampaknya masih terfokus pada memperbanyak jumlah gerai, dan belum berencana mengembangkan ke skala yang lebih besar seperti supermarket ataupun hypermarket. “Kami sedang melihat perkembangan, tapi dari pihak pemilik ke depan ada rencana mengarah ke hypermarket, meskipun ini baru sampai tahap pemikiran,” papar Trio. (sumber)
Selain Al Hikmah, konsep dan nuansa ritel Islami tampaknya juga berusaha dihadirkan oleh beberapa nama lain: Super Mini Market (SMM) yang dikelola Kopontren Daruut Tauhiid (Bandung), Al Amin (Bogor), dan Markaz yang kini memiliki 17 gerai dengan konsep waralaba.
Perkembangan jumlah gerai ritel berkonsep Islami memang tidak secepat gerai ritel konvensional, seperti Indomaret ataupun Alfamart. Alfamart, misalnya, hingga akhir 2003 menargetkan akan memiliki sekitar 600 gerai, sedangkan Indomaret memancang target 800 gerai (bahkan hingga akhir tahun depan 1.000 gerai). Adapun Markaz yang mulai dirintis sejak tahun 2000, baru memiliki 17 gerai yang tersebar di Yogyakarta, Jakarta dan beberapa kota di Jawa Timur. “Tahun depan kami menargetkan memiliki 54 outlet,” ujar Aji Haryo, Franchise Recruitment Officer PT Solar Sentra Distribusi, pengelola Markaz.
Menurut Aji, untuk mempercepat penambahan gerainya Markaz menawarkan sistem waralaba. Kelebihan yang ditonjolkan, antara lain menawarkan konsep waralaba Islami dengan investasi relatif rendah. Ia menjelaskan, untuk gerai seluas 50 m2 (stok awal sekitar 2 ribu item produk), peminat cukup membayar sekitar Rp 125 juta, plus fee waralaba Rp 25 juta untuk jangka waktu 5 tahun, sedangkan untuk gerai seluas 120 m2 (stok awal 4-5 ribu item produk), peminat harus membayar sekitar Rp 250 juta dengan fee Rp 35 juta untuk jangka waktu 5 tahun. Adapun target omsetnya, disebutkan Aji, Rp 2-3 juta/hari untuk toko ukuran 50 m2, dan Rp 6-7 juta/m2 untuk toko seluas 120 m2.
Jelas, investasi di Markaz relatif lebih murah dibanding Alfamart, misalnya. Di jaringan ritel yang dikelola Grup Sampoerna ini, untuk tipe toko 36 rak (luas toko 60-90 m2), peminat harus membayar biaya sekitar Rp 300 juta, tipe 45 rak (90-150 m2) Rp 350 juta, dan tipe 54 rak (150 m2) Rp 400 juta. Biaya itu sudah termasuk fee waralaba.
Berbeda dari Markaz yang tergolong ekspansif di kalangan peritel berkonsep Islami, Al Hikmah agaknya lebih konservatif. Dengan memiliki dua gerai minimarket dan satu gerai supermarket saat ini, pengelolanya mengaku belum berencana menambah outlet hingga akhir 2003. Bahkan, tahun depan hanya akan menambah satu gerai di Bintaro. Menurut Trio Nursalam, General Manager Pemasaran Al Hikmah, kelebihan minimarket-nya adalah membidik segmen menengah-bawah, sehingga harga murah dijadikan senjata untuk menarik konsumen. “Margin kotor yang kami dapat rata-rata sekitar 10%,” katanya. Strategi harga murah ini dilakukan Al Hikmah dengan cara subsidi silang di antara beberapa produk yang dijual.
Menurut Trio, agar tidak ditinggalkan konsumennya, Al Hikmah juga mengedepankan pelayanan kepada konsumen, dan menjaga kelengkapan produk sesuai dengan keinginan konsumen. “Selain harga, kelengkapan produk juga menjadi daya tarik konsumen,” katanya. Niken, 34 tahun, pengunjung minimarket Al Hikmah Rawamangun, mengakui kelengkapan produk yang ditawarkan menjadi daya tarik, apalagi beberapa produk sembako seperti telur dan susu harganya lebih murah dibanding minimarket lain. Trio memperkirakan, omset masing-masing gerai minimarket-nya Rp 3-4 juta/hari.
Langkah konservatif juga dipilih SMM yang berlokasi di Geger Kalong Girang, Bandung. SMM yang didirikan Kopontren Daruut Tauhiid pada 1994, belum berani berekspansi menambah gerai. Menurut Abdurrachman Yuri, pengelola SMM yang juga adik kandung Aa Gym, sampai saat ini SMM belum berencana menambah gerai. Alasannya, konsep SMM awalnya hanya untuk memberdayakan potensi masyarakat setempat. Sekarang, gerai toko dua lantai ini menyediakan sekitar 9 ribu item produk, dengan omset Rp 350 juta/bulan.
Menurut Anwar Hadi Isnianto, Vice President MQ Corporation, sebenarnya SMM tidak melabelkan sebagai jaringan ritel Islami. Memang, diakui Anwar, ketika terdengar adzan, minimarket itu sementara ditutup. Namun, menurutnya, nuansa Islami justru lebih ditekankan pada manajemen dan kualitas pelayanan yang didukung dengan menjual produk yang dijamin kehalalannya.
Anwar mengungkapkan, tahun depan MQ Corporation hendak menekuni bisnis minimarket dengan label MQMart yang merupakan pengembangan dari MQNet. Menurutnya, perkembangan MQNet sangat pesat, hanya dalam beberapa bulan telah memiliki 250 ribu member. Namun, ia belum bersedia menjelaskan panjang-lebar tentang konsep minimarket yang hendak dikembangkan. “Rencananya akan dikembangkan dengan pola franchise dan outlet pertamanya di Bandung,” ujarnya.
Pudjianto, Direktur Pengelola Alfamart menyambut baik munculnya minimarket bernuansa Islami, karena kehadiran minimarket ini membidik segmen tersendiri yaitu kaum Muslim. Ia mencontohkan Tip Top, yang sudah dipersepsikan sebagai supermarket bernuansa Islami, sehingga memiliki pelanggan loyal, meskipun harganya belum tentu lebih murah.
Ia membenarkan dari sisi pelayanan, jaringan ritel bernuansa Islami memang terkesan lebih memberikan kenyamanan bagi konsumen. Namun, dari segi harga, ia kurang yakin bila jaringan minimarket bisa memberikan harga lebih murah, karena hal ini terkait dengan volume penjualan.
Ke depan, minimarket bernuansa Islami tampaknya masih terfokus pada memperbanyak jumlah gerai, dan belum berencana mengembangkan ke skala yang lebih besar seperti supermarket ataupun hypermarket. “Kami sedang melihat perkembangan, tapi dari pihak pemilik ke depan ada rencana mengarah ke hypermarket, meskipun ini baru sampai tahap pemikiran,” papar Trio. (sumber)